Pembawa Surat
untuk
Nabi Palsu
(Syakhshiyah [Baituna] : Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIV)
Sosok yang dipilih Nabi shallallâhu 'alaihi wa
sallam untuk menyerahkan surat ke Musailamah al-Kadzdzâb si nabi palsu
adalah Habîb bin Zaid bin ‘Ashim bin ‘Amr bin ‘Auf bin Mabdzûl bin ‘Amr
bin Ghânim bin an-Najjâr al-Anshâri al-Mâzini an-Najjâri.[1]
Beliau seorang yang mulia yang berasal dari keluarga yang baik. Kedua
orang tua dan saudaranya termasuk para Sahabat yang telah berbaiat
kepada Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam pada baiat ‘Aqabah. Setelah
hijrah ke Madinah, beliau hidup di sisi Nabi shallallâhu 'alaihi wa
sallam, berjihad bersamanya.[2]
Ibnu Sa’ad 'alaihissalam berkata, “Habib
radhiyallâhu'anhu telah ikut serta dalam peperangan Uhud, Khandaq dan
peperangan lainnya”[3].
KEMUNCULAN NABI PALSU
Pada suatu hari muncullah fitnah yang besar di
selatan Jazirah Arab, yaitu munculnya dua pembohong besar yang mengaku
sebagai nabi. Satu di kota Shan’â, bernama al-Aswad al-‘Ansi. Dan satu
lagi di kota Yamâmah, Musailamah al-Kadzdzâb. Keduanya mengajak manusia
untuk mengimani kenabian mereka.
Waktu itu, Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam
dikejutkan dengan datangnya utusan yang membawa surat dari Musailamah.
Tertulis di dalamnya, “Dari Musailamah utusan Allâh, kepada Muhammad
Rasûlullâh. Semoga keselamatan selalu tercurah padamu. ‘Amma ba’du.
Sesungguhnya aku telah ikut serta dalam perkara (kenabian) bersamamu.
Bagiku separoh bumi dan bagi Quraisy separoh lainnya. Akan tetapi, suku
Quraisy (engkau) telah berbuat melampaui batas”.
Sebelum utusan tersebut kembali kepada Musailamah,
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam memanggil salah seorang Sahabat
yang biasa menulis surat untuk beliau. Setelah itu, beliau mendektekan
isi surat balasan yang berisi: “Dengan menyebut nama Allâh Yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad Rasûlullâh kepada Musailamah
al-Kadzdzâb (pembohong), semoga keselamatan atas orang yang mengikuti
petunjuk. ‘Amma ba’du. Sesungguhnya bumi adalah milik Allâh Ta'âla. Dia
mewariskannya kepada siapa saja yang dikehendaki”
Setelah surat tersebut sampai kepadanya, Musailamah
al-Kadzdzâb bertambah congkak dan kian semangat menyebarkan
kebohongannya. Ia dan para pengikutnya melancarkan teror dan intimidasi
terhadap kaum Muslimin. Bahkan melakukan penyiksaan terhadap kaum
Muslimin yang menolak untuk menjadi pengikutnya.
Begitu mengetahui Musailamah semakin meresahkan kaum muslimin, Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam
ingin mengirim surat kepadanya guna melarang perbuatannya itu.
Akhirnya, jatuhlah pilihan Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam pada Habîb
bin Zaid radhiyallâhu'anhu untuk mengantar surat tersebut kepada sang
pendusta.
KETEGARAN HABIB BIN ZAID RADHIYALLÂHU'ANHU
Sosok pemberani, tegar serta kokoh keislaman dan
keimanannya ini, berangkat dengan membawa surat yang mulia dari Sayyidul
Anbiyâ war rusul, Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam
dengan hati penuh dengan harapan Musailamah akan masuk Islam. Setelah
sampai di Yamâmah, surat tersebut diserahkan kepada Musailamah. Ia
membaca dan lantas merobek-robeknya dengan penuh kesombongan dan
kecongkakan.
Tidak lama kemudian, dia mengumpulkan
pengikut-pengikutnya untuk menyaksikan apa yang akan terjadi di hadapan
mereka. Musailamah bertanya kepada Habîb al-Anshâri radhiyallâhu'anhu,
“Apakah kamu bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allâh?” Habîb
al-Anshâri radhiyallâhu'anhu menjawab,” Ya, aku bersaksi bahwa Muhammad
adalah utusan Allâh”. Dengan wajah tampak pucat, Musailamah kembali
bertanya, “Apakah kamu bersaksi bahwa aku adalah utusan Allâh? Habîb
al-Anshâri radhiyallâhu'anhu menjawab, “Aku tidak mendengar”.
Wajah Musailamah berubah seketika itu menjadi
kemerahan saking murkanya kepada Habîb al-Anshâri radhiyallâhu'anhu.
Kemudian si nabi palsu memanggil algojonya untuk memotong anggota badan
Habîb al-Anshâri radhiyallâhu'anhu setiap kali menjawab dengan jawaban
tersebut. Pertanyaan pun diulang-ulangi, akan tetapi, Sahabat yang mulia
ini teguh pada pendiriannya, menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan
jawaban serupa, meskipun satu-persatu anggota tubuh beliau dipotong,
sampai akhirnya beliau meninggal dunia.
Sebenarnya, jika beliau menghendaki untuk
mengatakan, “Ya, aku bersaksi bahwa dirimu adalah utusan Allâh” dengan
hati tetap penuh dengan keimanan kepada Allâh Ta'âla dan Rasul-Nya ,
maka hal itu tidak akan mengurangi keimanan beliau sedikit pun. Namun,
sosok seperti beliau ini yang pernah ikut baiat aqobah bersama bapak,
ibu, dan saudaranya, lebih memilih mati syahid di jalan Allâh Ta'âla
daripada hidup di dunia yang fana ini.
Demikianlah cuplikan kisah ketegaran Sahabat mulia
Habîb al-Anshâri radhiyallâhu'anhu yang tidak takut terhadap kematian
dalam mempertahankan akidahnya.
PELAJARAN DARI KISAH
-
Keutamaan Habîb al-Anshâri radhiyallâhu'anhu karena beliau adalah orang yang dipilih oleh Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam sebagai pembawa surat ke Musailamah al-Kadzdzâb.
-
Keberanian dan keteguhan hati Habîb al-Anshâri radhiyallâhu'anhu dalam mempertahankan akidah.
-
Mati syahid lebih utama daripada hidup dalam kekafiran.
-
Kesabaran di jalan dakwah atas musibah yang menimpa termasuk di antara bekal seorang da’i.
-
Besarnya kesetiaan para Sahabat g terhadap Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam .
-
Kemuliaan akhlaq Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam. Beliau tidak mau membunuh utusan orang kafir meskipun utusan tersebut kafir.
-
Nabi Muhammad adalah nabi dan rasul terakhir, penutup para nabi dan rasul. Tidak ada nabi dan rasul setelahnya kecuali nabi dan rasul palsu.
-
Di antara mekanisme dakwah yang disyariatkan adalah dakwah melalui tulisan. Dalam hal ini, dakwah melalui media masa, koran, majalah, bulletin maupun melalui internet termasuk di dalamnya. Wallâhu a’lam
[Abu Hammam Nurkholis Kurdian]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar