Selasa, 27 Maret 2012

Sikap Islami Menghadapi Kenaikan Harga BBM

 
1
 
0
 
Rate This
Rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBMpertanggal 1 April 2012 telah meresahkan banyak masyarakat. Berbagai respon yang beraneka ragam mereka lakukan dalam menghadapi fenomena ini. Sebagai orang yang beriman, kita tentu yakin bahwa Islam mengajarkan aturan terkait masalah ini. Hanya saja ada yang tahu dan ada yang belum tahu aturan itu.
Sebagai orang yang beriman, kita tentu yakin bahwa aturan syariah merupakan aturan yang paripurna. Aturan yang mengantarkan manusia kepada kebahagiaan,meskipun bisa jadi tidak sejalan dengan logika kita. Ini penting untuk kita pahami, karena bisa jadi di antara kita ada yang merasa tidak puas dengan aturan ini. Bisa jadi di antara kita merasa aturan ini tidak sesuai dengan kepentingannya. Namun apapun itu, Anda perlu yakin bahwa aturan syariat harus dinomor-satukan. Dengan demikian, kita layak untuk disebut telah mendapat hidayah, karena kita mengambil sikap yang berbeda dengan mereka yang tidak sesuai aturan Alquran dan sunnah.
لِيَهْلِكَ مَنْ هَلَكَ عَنْ بَيِّنَةٍ وَيَحْيَى مَنْ حَيَّ عَنْ بَيِّنَةٍ
Sehingga semakin tersesat orang yang tersesat setelah mendapat penjelasan dan hiduplah orang yang hidup (dengan hidayah) setelah mendapat penjelasan.” (QS. Al-Anfal: 41)
Pertama, sesungguhnya Allah Dzat yang menakdirkan semua harga
Kasus naiknya harga barang, tidak hanya terjadi di akhir zaman. Fenomena ini bahkan pernah terjadi di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Disebutkan dalam riwayat bahwa di zaman sahabat pernah terjadi kenaikan harga. Mereka pun mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyampaikan masalahnya. Mereka mengatakan,
يا رسول الله غلا السعر فسعر لنا
“Wahai Rasulullah, harga-harga barang banyak yang naik, maka tetapkan keputusan yang mengatur harga barang.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
إن الله هو المسعر القابض الباسط الرازق وإني لآرجو أن ألقى الله وليس أحد منكم يطلبني بمظلمة في دم أو مال
“Sesungguhnya Allah adalah Dzat yang menetapkan harga, yang menyempitkan dan melapangkan rezeki, Sang Pemberi rezeki. Sementara aku berharap bisa berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku disebabkan kezalimanku dalam urusan darah maupun harta.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi, Ibnu Majah, dan dishahihkan Al-Albani)
Dengan memahami hal ini, setidaknya kita berusaha mengedepankan sikap tunduk kepada takdir, dalam arti tidak terlalu bingung dalam menghadapi kenaikan harga, apalagi harus stres atau bahkan bunuh diri. Semua sikap ini bukan solusi, tapi justru menambah beban dan memperparah keadaan.
Kedua, sesungguhnya kenaikan harga tidak mempengaruhi rezeki seseorang
Bagian penting yang patut kita yakini bahwa rezeki kita telah ditentukan oleh Allah‘Azza wa Jalla. Jatah rezeki yang Allah tetapkan tidak akan bertambah maupun berkurang. Meskipun, masyarakat Indonesia diguncang dengan kenaikan harga barang, itu sama sekali tidak akan menggeser jatah rezeki mereka.
Allah menyatakan,
وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ
Andaikan Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (QS. As-Syura: 27)
Ibnu Katsir mengatakan,
أي: ولكن يرزقهم من الرزق ما يختاره مما فيه صلاحهم، وهو أعلم بذلك فيغني من يستحق الغنى، ويفقر من يستحق الفقر.
“Maksud ayat, Allah memberi rezeki mereka sesuai dengan apa yang Allah pilihkan, yang mengandung maslahat bagi mereka. Dan Allah Maha Tahu hal itu, sehingga Allah memberikan kekayaan kepada orang yang layak untuk kaya, dan Allah menjadikan miskin sebagian orang yang layak untuk miskin.” (Tafsir Alquran al-Adzim, 7:206)
Terkait dengan hal ini, jauh-jauh hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan umatnya agar jangan sampai mereka merasa rezekinya terlambat atau jatah rezekinya serat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّهَا النَّاسُ ، إِنَّ أَحَدَكُمْ لَنْ يَمُوتَ حَتَّى يَسْتَكْمِلَ رِزْقَهُ ، فَلا تَسْتَبْطِئُوا الرِّزْقَ ، اتَّقُوا اللَّهَ أَيُّهَا النَّاسُ ، وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ ، خُذُوا مَا حَلَّ ، وَدَعُوا مَا حَرُمَ
Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian tidak akan mati sampai sempurna jatah rezekinya, karena itu, jangan kalian merasa rezeki kalian terhambat dan bertakwalah kepada Allah, wahai sekalian manusia. Carilah rezeki dengan baik, ambil yang halal dan tinggalkan yang haram.” (HR. Baihaqi, dishahihkan Hakim dalam Al-Mustadrak dan disepakati Ad-Dzahabi)
Setelah memahami hal ini, seharusnya tidak ada lagi yang namanya orang stres berlebihan ketika mengalami ujian ekonomi. Apapun ujian yang dialami manusia, sama sekali tidak akan mengurangi jatah rezekinya.
Namun satu hal yang perlu Anda catat tebal-tebal, hadis ini sama sekali bukan untuk memotivasi Anda agar tidak bekerja atau meninggalkan aktivitas mencari rezeki. Bukan demikian maksudnya. Kita tidak tahu seberapa jatah rezeki kita, sehingga tidak ada seorang pun yang mogok kerja, meninggalkan anak istri terlunta-lunta, karena latar belakang keyakinan bahwa rezekinya sudah dipatok harganya. Ini jelas pemahaman yang salah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan demikian, tujuannya agar manusia tidak terlalu ambisius dengan dunia, sampai harus melanggar yang dilarang syariat. Kemudian ketika terjadi musibah, manusia tidak sedih yang berlebihan, apalagi harus stres.
Sesungguhnya segala keresahan dan kesedihan yang dialami kaum muslimin adalah ujian dari Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا ، إِلاَّ كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
Jika ada yang menimpa seorang muslim, baik berupa rasa capek, sakit, kebingunan, kesedihan, kezhaliman orang lain, kesempitan hati, sampai duri yang menancap di badannya maka Allah akan jadikan semua itu sebagai penghapus dosa-dosanya.” (HR. Bukhari)
Mengingat hadis ini, sikap selanjutnya terkait kenaikan BBM: dilihat dari sudut pAndang takdir, kenaikan BBM adalah musibah yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, untuk menguji kaum muslimin, sekaligus menjadi penghapus dosa mereka. Keresahan yang mereka alami, hakikatnya adalah penghapus dosa yang pernah mereka lakukan. Siapa yang bersabar dan meniti jalan kebenaran maka Allah akan hapuskan dosa-dosanya dan akan Allah berikan jalan keluar terbaik.
Allah berfirman,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
Siapa yang bertakwa kepada Allah, maka akan Allah berikan jalan keluar. Allah akan berikan rezeki dari jalur yang tidak mereka perhitungkan..” (QS. At-Thalaq: 2–3)
Dalam memahami konsep musibah, sikap yang harus kita kedepankan adalah menuduh pribadi kita sebagai sumber masalahnya. Masing-masing individu menuding dirinya bahwa bisa jadi musibah ini disebabkan karena perbuatan maksiat yang pernah kita lakukan. Sebagaimana yang Allah firmankan,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
Segala bentuk musibah yang menimpa kalian, semuanya disebabkan ulah tangan (maksiat) kalian. Dan Allah telah memberi ampunan untuk banyak dosa.” (QS. As-Syuro: 30)
Ibnu katsir mengatakan,
أي:مهما أصابكم أيُّها الناس من المصائب فإنما هو عن سيئات تقدمت لكم
“Maksud ayat, musibah apapun yang menimpa kalian – wahai manusia – semuanya disebabkan maksiat yang kalian lakukan.” (Tafsir Ibn Katsir, 2:207)
Setelah kita memahami hal ini, sikap selanjutnya yang harus kita lakukan adalah memperbanyak taubat dan memohon ampunan kepada Allah. Sembari berharap agar Allah mengampuni kita dan memberikan penyelesaian terbaik bagi semuanya. Karena alasan inilah, para ulama selalu mengembalikan adanya musibah dengan nasihat taubat. Dikisahkan, dulu ada seorang ulama yang menerima pengaduan dari masyarakat; Harga-harga barang pada naik. Beliau lalu menasihatkan,
أنزلوها بالاسغفار
“Turunkan harga dengan banyak istighfar.”
Nasihat beliau ini didasari firman Allah di surat Nuh,
اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا ( ) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا ( ) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا
Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun-, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10 – 12)
Ayat ini merupakan jaminan, orang yang banyak memohon ampunan, akan Allah lapangkan rezeki dan keturunannya. Tapi perlu Anda catat tebal-tebal, ini hanya bisa dipahami dengan bahasa iman. Selama seseorang masih mengedepankan logika, selama itu pula dia akan kesulitan untuk menerimanya.
Contoh nyata penerapan adab ini, diterapkan Nabi Yunus, di saat beliau berada dalam kegelapan perut ikan. Nabi Yunus merengek, memohon ampun kepada Allah,
فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
Dia menyeru dalam kegelapan, dengan mengucapkan: Laa ilaaha illaa anta, subhaanak. Innii kuntu minad dzaalimiin. (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau, Maha Suci Engkau. Sesungguhnya aku termasuk orang yang zhalim).” (QS. Al-Anbiya: 87)
Adab selanjutnya, tetap jaga hati untuk husnu-zhan kepada Allah
Apapun yang menimpa diri Anda, jangan sampai menggiring Anda untuk berburuk sangka kepada Allah. Karena sekalipun itu musibah, hakikatnya Allah hendak memberikan kebaikan bagi Anda. Dengan musibah ini, Allah hendak menghapuskan dosa Anda, dan dengan musibah ini Allah hendak meninggikan derajat Anda. Jadi, apapun yang Allah berikan kepada Anda, hakikatnya untuk kebaikan Anda. Perhatikan motivasi yang diberikan sahabat Ibnu Mas’ud berikut,
والذي لا إله غيرُه، ما أعطي عبدٌ مؤمن شيئاً خيرا من حسن الظن بالله عز وجل. والذي لا إله غيره، لا يحسن عبد بالله عز وجل الظن إلا أعطاه الله عز وجل ظنه، ذلك بأنَّ الخير في يده
Demi Allah, Dzat yang tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Dia. Tidak ada pemberian untuk hamba beriman yang lebih baik dari pada husnu-zhan kepada Allah. Demi Allah, jika seorang hamba berbaik sangka kepada Allah, maka pasti Allah akan memberikan sesuai persangkaannya. Karena semua kebaikan ada di tangan Allah.” (HR. Ibnu Abid Dunya)
Bagaimana agar bisa disebut husnu-zhan kepada Allah? Caranya, paksa hati Anda untuk meyakini bahwa ujian yang saat ini sedang menimpa Anda adalah penghapus dosa Anda. Jaga hati dan lisan baik-baik, jangan sampai mengucapkan sesuatu yang mengundang murka Allah. Hindari perasaan, Allah tidak adil, Allah zhalim, Allah mengurangi jatah rezekiku, dimana kemurahan Allah,… dst. Hindari.., jangan sampai kita benci ketetapan Allah. Hadis dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“عِظَمُ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ، وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ”
Besarnya balasan itu sebanding dengan besarnya ujian. Sesungguhnya, apabila Allah mencintai seseorang maka Dia akan memberikan ujian kepadanya. Siapa yang ridha, dia akan mendapatkan ridha Allah dan siapa yang benci, dia akan mendapatkan kebencian Allah.” (HR. Turmudzi, Ibn Majah, dan dishahihkan Al-Albani)
Al-Mubarokfuri menjelaskan, “Siapa yang membenci ujian yang datang dari Allah, tidak rela terhadap ketetapan dari-Nya maka dia akan mendapatkan kemurkaan dari Allah dan siksa yang menyakitkan. Sebagai balasan terhadap sikap dia menentang takdir.” (Tuhfatul Ahwadzi, 7:65)
Termasuk bagian dari sikap husnu-zhan kepada Allah adalah memperbanyak berdoa dan berharap, agar Allah memberikan jalan keluar terbaik baginya. Dia tidak bosan-bosan untuk bersimpuh di hadapan Rabnya, meminta dan memohon agar Allah memberikan jalan keluar terbaik baginya. Inilah sikap yang dicontohkan para nabi, ketika mendapatkan ujian dari Allah, disamping berusaha untuk sabar dalam menerima ujian ini. Perhatikan Nabi Ayyub, di saat tumpukan musibah dunia yang menimpanya, beliau mengadu kepada Allah:
أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
Sesungguhnya aku sedang tertimpa musibah, dan Engkau Dzat yang sangat belas kasihan.” (QS. Al-Anbiya: 83)
Apa doa yang harus kita baca?
Kita bisa membaca semua doa yang isinya kebaikan. Setelah kita memohon ampunan kepada Allah, berdoalah memohon kebaikan untuk dunia dan akhirat. Kita bisa berdoa dengan bahasa Indonesia atau bahasa apa pun yang bisa Anda pahami.
Adab penting!
Hindari, menyebut-nyebut kenaikan harga di depan tamu Anda atau teman Anda.
Abul Aina’ menceritakan,
“Suatu ketika ada seseorang yang bertamu di rumah temannya. Ketika itu sedang musim paceklik. Si tuan rumah sering sekali menyebut-nyebut kenaikan harga. Mendengar hal ini, si tamu lantas mengangkat tangannya dan mengatakan, ‘Bukan termasuk sikap terhormat, menyebut-nyebut kenaikan harga di depan tamu, ketika sedang menghidangkan makanan!’ Tuan rumah kemudian minta maaf, dan memohon kepada tamu agar memakan hidangannya. Namun si tamu tidak menyentuhnya sama sekali, kemudian dia pergi keesokan harinya.” (Adab Muwakalah, Hal. 7)
Allahu a’lam
Garis Besar
Aqidah Ahlus Sunnah
Tentang Ahlul Bait

(Tajuk: Majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XV)
Aqidah Ahlus Sunnah bersifat wasath (berada di tengah-tengah) antara ifrâth (bersikap berlebihan) dan tafrîth (bersikap meremehkan) pada seluruh perkara aqidah, termasuk dalam bersikap terhadap Ahlul Bait (keluarga Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam ). Ahlus Sunnah memberikan wala (kesetiaan dan penghormatan) kepada setiap Muslim dan Muslimah dari keturunan Hasyim dan Muththalib. Demikian juga menghormati dan mengagungkan seluruh istri Nabi.
Ahlus Sunnah mencintai dan memuji Ahlul Bait, serta menempatkan mereka pada posisi yang sesuai dengan kemuliaan mereka berlandaskan nash-nash syar’i, bukan berdasarkan hawa nafsu atau perasaan belaka. Ahlus Sunnah mengakui keutamaan insan yang Allâh Ta'âla beri kenikmatan iman dan kemuliaan nasab (garis keturunan). Siapa saja yang termasuk Ahlul Bait, maka Ahlus Sunnah mencintai mereka karena keimanan dan ketakwaan mereka, kemudian karena status sebagai Sahabat Nabi dan keluarga beliau.
Ahlul Bait yang bukan seorang Sahabat, maka Ahlus Sunnah mencintai mereka karena keimanan dan ketakwaan, serta hubungan kekerabatannya dengan insan yang paling mulia, Rasûlullâh Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam.
Ahlus Sunnah memandang bahwa kemuliaan nasab itu tergantung dengan keimanan seseorang. Barang siapa memperoleh dua hal ini, kemuliaan nasab (menjadi Ahlul Bait) dan keimanan kepada Allâh Ta'âla, berarti dia telah mendapatkan dua kebaikan yang agung. Sebaliknya, siapa saja yang belum mendapatkan taufik untuk beriman kepada Allâh Ta'âla dan Rasul-Nya, maka kemuliaan nasab tidak bermanfaat sama sekali. Sebab Allâh Ta'âla berfirman:
QS. al-Hujurât/49:13
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allâh
ialah orang yang paling takwa di antara kamu
(QS. al-Hujurât/49:13)
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَـمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
Barang siapa amalannya sedikit,
maka nasabnya tidak bisa mempercepat (dia meraih kemuliaan)
(HR. Muslim no. 2699)

Al-Hâfizh Ibnu Rajab rahimahullâh menjelaskan hadits ini dengan berkata: “Maknanya, sesungguhnya amal (sholeh) lah yang akan mengangkat derajat seorang hamba di akherat, sebagaimana firman Allâh Ta'âla berikut:
QS. al-An’âm/6:132
Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang)
dengan apa yang dikerjakannya
(QS. al-An’âm/6:132)
Barang siapa amal (sholeh) nya sedikit di sisi Allâh Ta'âla, maka nasabnya tidak membantu dirinya untuk meraih derajat tinggi. Sebab, Allâh Ta'âla mengaitkan balasan bagi seorang hamba berdasarkan amalnya, bukan nasabnya.
Allâh Ta'âla berfirman:
QS. al-Mu’minûn/23:101
Apabila sangkakala ditiup
maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu
dan tidak ada pula mereka saling bertanya
(QS. al-Mu’minûn/23:101)
Allâh Ta'âla telah memerintahkan (para hamba-Nya) untuk bersegera memperoleh ampunan dan rahmat-Nya dengan mengerjakan amal shaleh. Allâh Ta'âla berfirman (yang artinya):
"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu
dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi
yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.
(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya),
baik di waktu lapang maupun sempit,
dan orangorang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang.
Allâh menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Dan (juga) orang-orang yang
apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri,
mereka ingat akan Allâh,
lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka
dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allâh?
dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu,
sedang mereka mengetahui"
(QS. Ali ‘Imrân/3:133-135)
Sesungguhnya kedekatan dengan Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam hanya dapat diraih dengan ketakwaan dan amal shaleh. Barang siapa memiliki keimanan dan amalan yang lebih sempurna, maka ia akan lebih dekat dengan Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam . Baik orang tersebut memiliki kedekatan keluarga dengan beliau atau tidak memiliki hubungan nasab dengan beliau. Wallâhu a’lam.
(Diadaptasi dari Fadhlu Ahlil Baiti wa ‘Uluwwi Makânatihim,
Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbâd)

Senin, 12 Maret 2012

Dakwah Salafiyah Istilah Yang Syar’i, Bukan Hizbi!!

Kategori: Manhaj
11 Komentar // 14 June 2008
Abdul Karim as Sam’ani mengatakan, “Salafi, dengan huruf sin dan lam yang difathah dan diakhiri huruf fa’. Ini merupakan penisbatan kepada kaum Salaf dan metode yang mereka tempuh.”
Imam as Safarini berkata, “Yang dimaksud dengan mazhab Salaf adalah ajaran yang diwariskan oleh para sahabat yang mulia ridhwanullahi ‘anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan setia, para pengikutnya, dan juga para ulama pemimpin agama yang telah dipersaksikan keimamannya dan dikenal kedudukannya yang mulia dalam agama. Kaum muslimin dari generasi ke generasi telah menerima ucapan-ucapan mereka. Mereka bukanlah golongan yang layak dituduh menyebarkan bid’ah atau orang-orang yang dikenal dengan julukan yang tidak diridai, seperti halnya: Khawarij, Rafidhah, Qadariyah, Murji’ah, Jabariyah, Jahmiyah, Mu’tazilah, Karramiyah dan golongan lain seperti mereka.”
Syaikh Abdul ‘Aziz rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya Salaf adalah orang-orang (para sahabat) yang hidup di generasi yang diutamakan (oleh Allah). Barang siapa yang mengikuti jejak mereka dan berjalan di atas manhaj mereka maka dia adalah seorang Salafi. Dan barang siapa yang menyelisihi mereka dalam perkara itu maka dia tergolong kaum Khalaf.”
Syaikh Salim bin ‘Ied al Hilali hafizhahullah mengatakan di dalam kitabnya Limadza ikhtartu al manhaj as salafi, “Dengan demikian tampak jelas bahwa istilah Salaf ketika dilontarkan begitu saja tidaklah merujuk kepada keberdahuluan masa semata. Akan tetapi istilah itu merujuk kepada para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para pengikut setia mereka.”
Beliau juga mengatakan, “Dengan sudut pandang ini maka istilah Salaf telah menjadi sebuah ketetapan umum yang diberikan kepada siapa saja yang menjaga keselamatan akidah dan manhaj yang berpijak pada pemahaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya sebelum terjadinya perselisihan dan perpecahan.”
Beliau mengatakan, “Adapun Salafiyah adalah penyandaran diri kepada generasi Salaf. Ini merupakan penisbatan terhadap manhaj yang lurus dan sesuatu yang terpuji. Ini bukan termasuk tindakan menciptakan mazhab yang baru.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Bukanlah perbuatan yang tercela apabila seseorang berterus terang menampakkan mazhab Salaf, menisbatkan diri dan merasa mulia (tidak minder) dengan hal itu. Bahkan hal itu wajib diterima dengan kesepakatan (para ulama). Karena sesungguhnya (apa yang diyakini) mazhab Salaf itulah kebenaran.”
Syaikh Shalih al Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Kaum Salaf dan orang-orang yang mengikuti manhaj mereka senantiasa membedakan antara kelompok pengikut Sunnah dengan kelompok lainnya yaitu ahli bid’ah dan sekte-sekte sesat. Mereka menyebut kelompok orang semacam ini dengan nama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Ucapan dan karya-karya para ulama pengikut manhaj Salaf dipenuhi dengan pernyataan-pernyataan seperti itu. Mereka berusaha membantah berbagai sekte yang menyempal dari Firqah Ahlus Sunah wal Jama’ah dan pengikut Salaf.”
Saya (Syaikh Hisyam -pent) mengatakan: Musuh-musuh dakwah Salafiyah berusaha mengesankan kepada masyarakat bahwa Salafiyah adalah dakwah yang memiliki sekat pemisah tertentu yang menyisihkan diri mereka dari kaum muslimin yang lain. Padahal sebenarnya dakwah salafiyah tidak lain adalah dakwah yang diserukan Allah ta’ala dan dakwah Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam serta dakwah para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan dakwah para pengikut setia mereka hingga hari kiamat tiba. Dengan itu maka jelaslah bagi anda bahwa penamaan dakwah ini dengan dakwah salafiyah adalah penamaan yang syar’i bukan hizbi (yang membela kepentingan kelompok tertentu, pen), sebab dakwah ini senantiasa tegak di atas ilmu yang bermanfaat yang dipahami dengan pemahaman para Salafush Shalih.”
[Diterjemahkah dari sebuah pasal berjudul ad Da'wah as Salafiyyah Mushthalahun Syar'iyyun wa Laisa Mushthalahan Hizbiyyan yang terdapat dalam risalah Da'watuna Salafiyyatan la Hizbiyyatan, karya Syaikh Hisyam bin Fahmi al 'Arif yang di muraja'ah oleh Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al Atsari hafizahumallah. www.daawah.net]
***
Penulis: Syaikh Abu Abdurrahman Hisyam bin Fahmi Musa Al ‘Arif
Penerjemah: Abu Mushlih Ari Wahyudi